Jangan sembarangan menafsirkan Al-Qur'an!


Bismillahirrahmanirrahim

JANGAN SEMBARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR'AN


Menafsirkan Al-Qur’an bukanlah urusan gampang. Menurut para ulama’, agar memiliki otoritas menafsirkan Al-Qur’an, dibutuhkan tidak kurang dari 15 macam ilmu, seperti lughah (bahasa), ma’ani, fiqh, ushul fiqh, qira’at, nasikh-mansukh, dsb. Kali ini, mari kita ambil kata “menghidupkan” sebagai contoh untuk menunjukkan betapa Al-Qur’an tidak bisa ditafsirkan sembarangan. Semoga kita bisa mengambil pelajaran darinya.



Secara bahasa, menghidupkan (al-ihya’) adalah kebalikan dari mematikan (al-imatah). Inilah pengertian dasarnya. Namun, perbedaan konteks bisa mempengaruhi arah maknanya. Di dalam Al-Qur’an sendiri, kata ini muncul 51 kali. Alhamdulillah, kami menemukan ulasan terkait dalam artikel Dr. Muhammad Al-Ahmadi (berbahasa Arab), dan mengambil materi utamanya sebagai contoh disini.
Makna pertama dari “menghidupkan” adalah: memberi hidayah. Allah berfirman, “Apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya?” (Qs. Al-An'am: 122). Menurut Imam Ibnu Katsir, makna “Kami hidupkan” adalah Kami beri hidayah. Makna ini senada dengan ayat lainnya, yaitu: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu…” (Qs. Al-Anfal: 24). Seruan Rasulullah adalah hidayah kepada keimanan, dan dengan iman maka hati manusia menjadi hidup.
Kedua: menciptakan dan mengadakan. Allah berfirman, “Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi. Dia menghidupkan dan mematikan. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Qs. Al Hadid: 2). Menurut Syaikh Thahir bin ‘Asyur, “menghidupkan” disini berarti: membuat sesuatu yang semula tidak ada menjadi ada, kemudian memberinya kehidupan sehingga keberadaannya pun menjadi sempurna.
Ketiga: membangkitkan potensi indra, rasa, gerakan, dan pertumbuhan. Dalam pengertian ini, manusia dan binatang disebut hidup selama masih ada ruh dalam jasadnya. Allah mengisyaratkannya dalam Qs. Al-Baqarah: 243, “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang ke luar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati. Maka Allah berfirman kepada mereka: "Matilah kamu", kemudian Allah menghidupkan mereka....”
Sedangkan bumi bisa disebut hidup selama menyemaikan tetumbuhan, sebagaimana firman-Nya, “Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan darinya biji-bijian. Maka, darinya mereka makan.” (Qs. Yasin: 33).
Keempat: membangkitkan kembali sesudah kematian. Allah berfirman, “Setelah itu Kami bangkitkan kamu sesudah kamu mati, supaya kamu bersyukur.” (Qs. Al-Baqarah: 56). Disini, istilah “kebangkitan” diperhadapkan dengan “kematian”, sedangkan kematian sendiri merupakan kebalikan dari kehidupan. Makna senada terdapat dalam Qs. al-Baqarah: 243 (telah disebutkan sebelum ini), juga dalam surah Yasin: 78-79, “…Ia berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?" Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya pertama kali. Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk.” Ayat-ayat ini memperlihatkan bahwa diantara makna “menghidupkan” adalah membangkitkan kembali sesudah kematian; sebagaimana disitir Imam al-Qurthubi, az-Zamakhsyari, Ibnu Katsir, dll.
Kelima: menyelamatkan dari kebinasaan. Perhatikan firman Allah ini: “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barangsiapa membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang menghidupkan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah menghidupkan manusia semuanya….” (Qs. Al-Ma’idah: 32). Ayat ini sesungguhnya menganjurkan untuk memelihara kehidupan, bukan sebaliknya. Jika maknanya diperluas, ia mendorong untuk menjaga segala sesuatu tetap baik sebagaimana Allah menciptakannya dan membenahi apa-apa yang telah dirusakkan, baik secara fisik maupun non-fisik. Penjelasan lebih luas dapat ditemukan dalam Tafsir ath-Thabari, ar-Razi, al-Alusi, al-Qasimi, dll.
Keenam: memakmurkan kembali. Maksudnya, menjadikan suatu negeri ramai setelah sebelumnya kosong dan ditinggalkan. Allah berfirman, “Atau, apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: "Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?" (Qs. Al-Baqarah: 259). Maksudnya: bagaimana cara Allah meramaikan kembali negeri ini setelah ia hancur dan ditinggalkan? Menurut para ulama’, ayat ini berkenaan dengan Nabi ‘Uzair ‘alaihis salam yang melewati Baitul Maqdis setelah hancur dan penghuninya diboyong sebagai tawanan di negeri asing. Allah lalu mematikannya selama 100 tahun, lalu menghidupkannya lagi. Dalam masa tersebut Bani Israil kembali ke Baitul Maqdis dan jadilah ia ramai seperti semula. Demikian seperti dijelaskan Imam Ibnu Katsir, ath-Thabari, dll.
Jadi, untuk satu kata ini saja – yaitu: “menghidupkan” – ada beberapa kemungkinan makna yang muncul. Padahal, menurut sebagian ulama’, Al-Qur’an memuat tidak kurang dari 77.934 kata (lihat: bab ke-19 dalam al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an karya Imam as-Suyuthi). Pasti diperlukan banyak sekali perangkat untuk memilih makna yang paling pas. Maka, jika sekarang ada yang berani menafsirkan Al-Qur’an sedangkan ia buta terhadap 15 ilmu prasyaratnya, bukankah kewarasan akalnya sangat layak dipertanyakan? Wallahu a’lam.

[*] Alimin Mukhtar, 19 Sya’ban 1433 H. Pernah dimuat dalam Lembar Tausiyah BMH Malang.

-------------------------------

Catatan:
Artikel diatas ditulis berdasarkan artikel Dr. Muhammad Al-Ahmadi, link: http://www.almithaq.ma/contenu.aspx?C=5388
مفهوم الإحياء فى القرآن والحديث
Diakses pada: 09 Juli 2012.