ﭑ ﭒ ﭓ
وَهُوَ الَّذِي يَتَوَفَّاكُمْ بِاللَّيْلِ وَيَعْلَمُ مَا جَرَحْتُمْ
بِالنَّهَارِ ثُمَّ يَبْعَثُكُمْ فِيهِ لِيُقْضَى أَجَلٌ مُسَمًّى ثُمَّ إِلَيْهِ مَرْجِعُكُمْ
ثُمَّ يُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (60)
Artinya, “Dan Dia lah (Allah) yang menidurkan
kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan di siang hari, kemudian
Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur(mu) yang telah
ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali, lalu Dia memberitahukan
kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan.”
Maksudnya, Allah menidurkan kita di malam hari dan
membangunkannya di siang hari, supaya dengan perputaran waktu itu habislah umur
yang telah ditentukan-Nya untuk kita masing-masing. Dengan kenyataan bahwa
Allah menidurkan kita, dimana di saat itu kita tidak berkuasa apa-apa atas diri
kita, lalu Allah membangunkan kita sekali lagi dengan segar-bugar, semua itu
adalah pelajaran dan pertanda bahwa Dia pun sangat kuasa untuk membangkitkan
kembali kita dari kematian di hari kiamat nanti. Tidur dan bangun adalah bagian
dari peringatan dan bahan perenungan agar kita tidak melalaikan akhirat dan
saat pertanggungjawaban amal, sebab Allah kelak pasti memberitahu kita segala
amal kita: baik, buruk, benar, salah, lurus, sesat, surga, neraka, dan lain sebagainya.
وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَيُرْسِلُ عَلَيْكُمْ حَفَظَةً حَتَّى
إِذَا جَاءَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ تَوَفَّتْهُ رُسُلُنَا وَهُمْ لاَ يُفَرِّطُونَ
(61)
Artinya, “Dan Dia lah (Allah) yang mempunyai
kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu
malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian kepada salah
seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan
malaikat- malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya.”
Maksudnya, Allah lah yang mengendalikan seluruh
makhluk-Nya. Dia mengirim para malaikat untuk menjaga dan mengawasi amal
perbuatan serta badan makhluk-Nya itu. Tidak ada yang terluput dan terlantar di
alam raya ini, semua dalam kendali dan pengaturan-Nya. Dan, bila saat kematian
telah tiba untuk salah satu darinya, maka utusan Allah itu akan mewafatkannya
tepat waktu, tidak lengah atau salah, pasti tepat dan sesuai dengan hukum,
hikmah serta takdir Allah ta’ala. Kita tidak diberitahu secara detail bagaimana
kematian diwujudkan, kecuali dengan permisalan-permisalan belaka, sebab ruh itu
sendiri hakikatnya pun merupakan misteri yang disimpan Allah sendiri. Hanya
sebagian kecil saja yang dibuka untuk kita. Entah para pembantu malaikat maut
mencabut ruh satu persatu; entah malaikat maut itu sendiri yang memanggil
ruh-ruh agar keluar dari badan sehingga pemiliknya pun mati; entah Allah menciptakan
kematian dalam diri setiap makhluk-Nya sehingga mereka akan mati pada saatnya. Kita
tidak diberitahu.
ثُمَّ رُدُّوا إِلَى اللَّهِ مَوْلاَهُمُ الْحَقِّ أَلاَ لَهُ الْحُكْمُ
وَهُوَ أَسْرَعُ الْحَاسِبِينَ (62)
Artinya, “Kemudian mereka (hamba Allah)
dikembalikan kepada Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya. Ketahuilah bahwa
segala hukum (pada hari itu) kepunyaan-Nya. Dan Dia lah Pembuat perhitungan
yang paling cepat.”
Maksudnya, semua makhluk akan dikembalikan untuk
menghadap kepada Penciptanya, tanpa terkecuali. Dengan kematian itu mereka
kembali kepada-Nya, dan di akhirat kelak mereka akan menghadap satu persatu
untuk dimintai pertanggungjawaban. Di sana, di akhirat, tidak ada hukum yang
berkuasa selain hukum-Nya, sehingga segenap raja dan tiran yang sombong serta menentang
Allah tidak akan memiliki kuasa apapun. Bahkan, mereka tidak akan sanggup
membela diri mereka sendiri dari tuntutan yang sudah menghadang.
Demikianlah perputaran takdir manusia.
Awalnya mereka berada di alam ruh, dimana disana mereka tidak berkuasa apa-apa
dan mutlak di bawah kendali serta pengaturan Allah. Lalu, dengan kemurahan dan
rahmat-Nya mereka dikeluarkan ke dunia ini. Allah memberi mereka kuasa dan
potensi untuk mengatur diri mereka sendiri, dengan janji untuk dimintai
pertanggungjawaban suatu saat nanti. Di dunia ini, kadang manusia melupakan
janji itu dan merasa bahwa mereka sangat berkuasa untuk mengatur dirinya,
sehingga menolak aturan-aturan Allah. Mereka mencipta aturan sendiri dan bahkan
memusuhi para rasul dan agama yang mereka wariskan. Inilah cobaan terberat
manusia, yakni: diberi kuasa dan potensi untuk mengatur dirinya serta memilih
jalan yang ia sukai. Belum lagi iblis dan balatentaranya turut menggoda. Maka,
tidak ada yang selamat dari cobaan ini kecuali atas izin dan rahmat-Nya jua. Namun,
dengan keadilan dan kuasa-Nya, seluruh manusia akan dipanggil kembali untuk
berada di bawah kuasa dan kendali Allah secara mutlak, yakni di akhirat. Maka,
Allah akan membalas kebaikan dengan rahmat-Nya, dan menghukum para pendurhaka
sesuai keadilan-Nya.
قُلْ مَنْ يُنَجِّيكُمْ مِنْ ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ تَدْعُونَهُ
تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً لَئِنْ أَنْجَانَا مِنْ هَذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ
(63) قُلِ اللَّهُ يُنَجِّيكُمْ مِنْهَا وَمِنْ كُلِّ كَرْبٍ ثُمَّ أَنْتُمْ تُشْرِكُونَ
(64)
Artinya, “Katakanlah: "Siapakah yang dapat
menyelamatkan kamu dari bencana di darat dan di laut, yang kamu berdoa
kepada-Nya dengan rendah diri dengan suara yang lembut (dengan mengatakan):
"Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah
kami menjadi orang-orang yang bersyukur"; Katakanlah: "Allah
menyelamatkan kamu dari bencana itu dan dari segala macam kesusahan, kemudian
kamu kembali mempersekutukan-Nya."
Maksudnya, ayat ini merupakan pertanyaan
pengingkaran terhadap kebiasaan kita yang aneh. Jika cobaan dan bencana besar
mengepung, maka tiba-tiba kita mengingat Allah dengan penuh kekhusyu’an, berdoa
dan memohon – baik secara terbuka maupun di dalam hati – dengan penuh rasa
butuh dan merendahkan diri kepada-Nya. Seringkali kita pun menyertakan janji
dan nadzar tertentu sebagai penguat, bahwa jika kita berhasil lolos dari
cobaan dan bencana ini maka kita akan melakukan kebaikan ini-itu, bersedekah,
shalat, berhaji, dsb. Namun, Allah Maha Tahu, bahwa setiap ketaatan yang tidak
tulus dan “mendadak” seperti itu, pada dasarnya adalah kebohongan dan “taubat
sesaat”. Setelah keadaan berangsur membaik dan segala sesuatunya normal
kembali, tiba-tiba saja kemungkaran kambuh dan kemaksiatan digandrungi lagi,
seolah-olah Allah tidak ada dan segala janji serta nadzar yang dulu itu tidak
pernah diucapkan. Maka, taatilah Allah kapan saja, dan berdoalah kepada-Nya di
saat lapang maupun sempit, agar Dia tidak melupakan kita pada saat kita
membutuhkan-Nya.
قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَابًا مِنْ فَوْقِكُمْ
أَوْ مِنْ تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعًا وَيُذِيقَ بَعْضَكُمْ بَأْسَ
بَعْضٍ انْظُرْ كَيْفَ نُصَرِّفُ الآيَاتِ لَعَلَّهُمْ يَفْقَهُونَ (65)
Artinya, “Katakanlah: "Dia lah yang
berkuasa untuk mengirimkan adzab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah
kakimu, atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling
bertentangan) dan merasakan kepada sebahagian kamu keganasan sebahagian yang
lain. Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih
berganti agar mereka memahami(nya)".
Maksudnya, sebenarnya adzab Allah bisa datang
kapan saja dan dari mana saja, sebab seluruh alam ini miliknya dan ada di
tangan-Nya. Mereka akan tunduk kepada apa saja yang Dia perintahkan, apakah
menurunkan rahmat atau adzab. Oleh karenanya, berhati-hatilah dan jangan
gegabah. Jangan merasa bahwa teknologi sanggup mengatasi semua itu, sebab kita
tidak pernah tahu bencana yang mana yang akan datang. Bencana “dari atas” bisa
berupa: (1) dari atas langit, yakni hujan batu, meteor, petir, dsb; (2) dari
penguasa yang buruk dan jahat; (3) dari pemimpin (politik maupun agama) yang
buruk. Sementara bencana yang datang “dari bawah” bisa jadi: (1) dari bumi, seperti
gempa, banjir, longsor, dll; (2) rakyat jelata yang tidak bermoral, tidak taat
hukum dan liar; (3) budak dan hamba sahaya, atau kaum buruh dan pembantu.
Ada pula bencana yang lebih dahsyat,
yakni ketika Allah memecah belah suatu bangsa sehingga satu sama lain saling
berperang dan membunuh. Ketika manusia melanggar aturan-Nya, maka dosa mereka akan
memicu permusahan satu sama lain, sehingga pecahlah pertumpahan darah dan
kematian menyebar dimana-mana. Ini bencana yang lebih dahsyat dan perih. Sebab,
ketika bencana alam yang jatuh, manusia akan bertekuk-lutut di hadapan
kebesaran Allah yang tidak bisa mereka lawan. Akan tetapi, tatkala bencana
timbul dari kejahatan sesama, yang muncul bukan kepasrahan, namun dendam dan
angkara-murka. Maka, api pun semakin berkobar dan adzab Allah akan semakin menggelora.
Na’udzu billah.
Wallahu a’lam.
[*] Kamis, 16 Dzulhijjah 1430 H. Berdasarkan Tafsir Zadul Masir, dengan dukungan sumber-sumber lain.